Kapan Nikah?
Sebuah pertanyaan yang mengagetkanku, membuyarkan semua buah pikiran yang ada di kepalaku. 'Kapan Nikah?' Tak lebih dari sekedar senyum, atau 'ehm, nggak tau juga nih' dsb untuk sedikit menghindar dan mengalihkan topik pembicaraan. Yah, begitulah nasib orang yang salah, selalu menghindar saat tersudut atau diserang lawan.
Kalau dulu senjata pamungkasku adalah 'nantilah, masih terlalu muda. Mau fokus belajar dulu...'. Cukup dengan kata-kata itu, lawan bicara akan manggut-manggut sambil tersenyum dan berkata 'iya, belajar itu memang penting...'
Dunia pun berubah, senjata pamungkas yang dulu kuandalkan sudah tak tajam lagi. Hal ini terjadi dengan menikahnya seorang teman yang umurnya 3 tahun lebih muda dariku. Dia menikah di usia 19 tahun!!! Akhirnya jawabanku bisa terbantahkan juga: 'Hmm, nggak gentle ente... tuh temanmu aja berani..., masa kamu...'
Well, kita pakai senjata yang kedua 'Mau cari kerja dulu nih, biar mandiri'.
Kelihatannya ampuh juga nih kata-kata, bisa membungkamkan semua penyerang yang ada dengan sekejap.
Tapi kenyataannya, 'Ah, kurang tawakkal... Jangan ilmunya aja dong, praktiknya mana?!' atau 'Rejeki itu ngikut orangnya, dulu ane juga nggak ada kerja, sekali nikah langsung banyak order' atau 'Udahlah, tuh anaknya pak ****, maju aja..., Nanti lewat nyesel loh...' Dan yang ketiga ini yang paling nancep di hati sampai bikin megap-megap berbisik lirih 'iya aja apa yah???'.
Dipikir iya juga sih, belajar udah pernah (meski cuman ngicipin), kerja udah ada (alhamdulillah bisa buat makan 3x sehari plus nraktir temen), tampang udah pantas (udah tua maksudnya), rumah udah ada (ngontrak ya, om?). Kurang apa lagi?!
'Hah, kurang berani aja...!!! Kurang tawakkal...!!! Kurang jan*** aja!!! sahut teman dari ujung kulon sana.
Memang, analisa itu selalu kalah dengan pengalaman. Terlebih lagi jika pengalaman itu didukung dengan argumen-argumen yang kuat, yang akan meluluh lantakkan semua analisa-analisa yang berputar di kepala.
'Tinggal nunggu kamu aja nih...' tegur seorang ustadz yang duduk di sampingku. Mengembalikanku pada dunia asalku; di depan tiga buah meja berselimutkan taplak berenda, di depan seorang laki-laki rapi dengan songkok nasionalnya, dan seorang bapak yang bersikap setegar mungkin, melawan rasa kikuk dan canggung di hadapan para tamu menantinya berbicara.
Sang bapak pun mulai membuka, 'Wahai... , saya..., dengan..., tunai'. Cepat dan lewat, serta merta kedua saksi dan para tamu undangan mengatakan 'Sah, sah...'
Begitu cepat waktu berlalu, setelah ustadz yang tadinya duduk di sampingku itu selesai memberikan nasehatnya. Ia pun duduk kembali dan mengatakan 'Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khair...'
Sejenak aku tertegun, merenungi sebuah suasana yang begitu hangat dan bahagia, mencari inspirasi dari sebungkus kecil kacang telor dan wajik hijau di tangan. Aku menyingkirkan mereka sejenak, lalu kuraih tangan seorang muda dengan senyum lebar dan mata berbinar di depanku. Mulut ini pun berucap 'Selamat ya, baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khair...' dengan mata menyipit dan senyum seramah mungkin aku mengakhiri doaku.
Yah, untuk sementara jadi tamu undangan lagi. Semoga datang waktunya nanti...
Di Sebuah Surau, di Kota Hujan Nan Dingin
Iwanfa62
Komentar
Posting Komentar