Pengalaman Diklat Kepenulisan di Ponpes

Lucu juga sebenarnya. Beberapa hari yang lalu saya mengikuti sebuah diklat kepenulisan di sebuah pondok pesantren. Diklat ini adalah diklat pertama, kalau penulis menilai masih separuh percobaan. Tapi sedikit banyak lumayan menambah wawasan. 

Hanya saja schedule-nya yang terlalu maraton bikin payah. Coba bayangkan, dari setelah shalat subuh hingga dzuhur, hanya diselahi waktu sarapan dan istirahat sekitar satu jam. Season selanjutnya setelah dzuhur sampai ashar, setelah ashar lanjut lagi sampai menjelang maghrib. Hampir patah rasanya tulang belakang ini duduk bersilah. Penataran masih lanjut maghrib sampai Isya. Selepas Isya, barulah sedikit bisa bernafas lega. Meski harus dihadapkan dengan selembar kertas kosong yang katanya sebagai lembar berkarya.

Yang paling asyik adalah ketika mendengarkan pengalaman-pengalaman para redaktur majalah Islami. Dari seorang dai penulis yang menceritakan pengalaman pertamanya menulis di sekolah dasar, sampai pengalaman seorang pimpinan majalah yang merangkap jabatan editing sekaligus, yang katanya tidak punya basic tata bahasa secara formal.

'Intinya adalah memulainya' kata seorang pemateri jebolan fakultas psikologi di sebuah universitas yang saya sendiri tidak begitu ingat. Menurutnya, seorang penulis tidak usah merangkap jabatan. Jangan sampai seorang penulis menjadi penulis sekaligus juri terhadap tulisannya, apalagi sebagai editor. Yang harus dilakukan adalah tulis, tulis dan tulis apa yang terlintas. Lebih ekstrim beliau mengatakan 'Pokoknya tulis! Masalah berantakan itu bukan tugasmu. Itu tugas editor', terangnya setengah berkelakar.

Yang tidak kalah menarik adalah solusi menghadapi 'blocking' saat menulis. Seringkali seorang penulis -apalagi newbie- hanya terpana alias melongo ketika berhadapan dengan selembar kertas kosong atau halaman kosong proyek di komputernya. Salah satu caranya adalah membaca buku sebagai pemancing, lalu menuliskannya dengan bahasa sendiri, semi-copas mungkin. Cara lain adalah dengan menuliskan apa saja yang terlintas di kepala. Entah bagaimana berantakannya, bisa ditata ulang saat finishing.

Lumayan banyak sebenarnya pelajaran yang berharga bagi penulis, diklat sehari full-time ini -yang konon merupakan jama' qashar dari jadwal aslinya tiga hari- ditutup dengan acara terjun langsung ke medan laga, setiap peserta disangoni selembar kertas kosong dan sebuah pena.

Yah, pikir saya pribadi. Dalam waktu 1 jam, karya ilmiah apa yang kira-kira bisa ditorehkan. Setelah pikir punya pikir dan nyaris pikiran keblokir, penulis mencoba melaksanakan jurus yang baru. Tulis sudah apa yang terlintas! Ilmiah tidaknya bukan urusan! Kebetulan saat itu terlintas di benak tentang penataran yang dilakukan seharian itu. So, tulis saja sekalian sedikit bubuhan kritikan. Dibaca syukur, tidak dibaca ya syukur.

Usai menorehkan sehalaman folio dengan tulisan seadanya. Penulis agak ragu menyerahkannya. Takut nanti dipanggil terus dikasih wejangan tambahan. Sedikit saya tulis nama singkat biar tidak ketahuan, langsung kutitipkan kawan untuk mengumpulkan. Sejurus kemudian, daripada spekulasi, lebih baik langsung kabur ke penginapan.

Yang bikin kaget, dari cerita sebagian rekan, ternyata tulisan saya benar-benar dibaca! Kaget bercampur senang rasanya. Meski masih blepotan dan terlalu banyak kata-kata kiasan, tapi lumayanlah buat permulaan. "Yang tidak bisa sempurna dilakukan, tidak harus seluruhnya ditinggalkan"

(kolomuzi)

Komentar