Di Lembah Ini Kami Memulai

Di suatu pagi yang cerah, keluarlah dan lihatlah sekelilingmu...
Ada Gunung Sindoro dan Sumbing yang duduk serasi di ufuk pelaminan...
Ada Gunung Merapi, Telomoyo, Merbabu, Ungaran dan Slamet berbaris bak pasukan...
Di lembah ini kami melatih diri, di lembah ini kami bangun kembali populasi

Banyak pelajaran di sepanjang tahunku di tanah Temanggung, tepatnya di sebuah ponpes salafi di daerah Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. 

Tak terasa, jika dihitung kasar, kira-kira aku telah menghabiskan sepempat lebih dari hidupku untuk tinggal disini. Ya, terhitung sejak lulus sekolah dasar di usia 13, aku harus memulai perjalananku yang tidak 'biasa' saat itu. Saat teman-teman sekelasku menebak-harap; mau melanjutkan di SMP mana setelah lulus. Yang ada di pikiran ini adalah kasur baru, gayung, sabun, handuk, makan sendiri, tidur sendiri dan mandi pun sendiri (yang terakhir memang dari dulu).

Ya, sebuah sekolah yang luar biasa; tanpa ijazah, tanpa jenjang yang jelas, tanpa rapot, dan tanpa-tanpa yang lain. Jujur, saat itu aku merasa sangat berat membayangkannya. Melihat teman-temanku yang melanjutkan studinya ke pendidikan formal, seragam biru putih, teman baru, kenalan baru, guru baru, sepatu baru, tapi aku...?!

Ponpes itulah singkatan paling 'keren' untuk sekolah hidupku yang tercinta ini. Meski herannya setengah mati; kenapa dulu abi bersikeras dan kukuh untuk mengalihkan aku dari sekolah formal, sampai tak mengindahkan segala tangis dan jerit dari anak laki-lakinya ini. Bukankah tanpa ijazah kita sulit dapat kerja?! Bukankah tanpa ijazah kita akan diremehkan orang?! Bukankah tanpa ijazah kita tidak boleh menikah?! (kalau yang terakhir ini jelas bukan...)

Itulah, bla-bla-bla nya argumen yang umum dipakai. Tapi, jawaban abi tetap tegas, "Tidak, aku nggak mau melihat anak-anakku bobrok!!! Gitar, motor, pacaran, dsb..."

Butuh waktu panjang untuk memahami pikiran abi. Pikiranku yang pendek saat itu benar-benar belum terlalu bisa mencernanya. Namun, berangsurnya waktu, akhirnya nalar ini mulai berjalan. Aku mulai sadar, sekolah yang tak biasa ini memang bukan sekolah pada umumnya. Sebuah pondok pesantren yang istimewa; tidak hanya mengajarimu tentang 'secerdas apa aku?' tapi mengajarimu tentang 'se-berguna apa aku?' Sekolah yang tak mengajarkan 'kerja sebagai apa aku nanti' tapi mengajarkan 'seberapa siap aku menghadapi keadaan nanti'.

Tak ada yang terlalu istimewa dalam pondok ini dibandingkan dengan sekolah formal -jika dilihat dari satu sisi dunia saja-. Tapi dialah yang menempa jiwa yang manja ini untuk berpikir sederhana, dan memeras mata yang cengeng ini untuk tegar menatap dunia...

Bersambung...

Komentar