Di Lembah Ini Kami Memulai...

Bagiku, paling sulit adalah mengendalikan sebuah lingkaran yang berputar; dari lingkaran dunia, lingkaran mata, lingkaran kelereng, dan juga lingkaran bola. Entah, lingkarannya yang mudah berputar membuatku sulit menentukan arahnya. Inginnya menendang lurus, ternyata arahnya berbelok. Maunya menutup mata, tapi beratnya tak terhingga... inilah mungkin alasanku yang paling kuat tidak bermain bola sampai sekarang...

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Riuh dan meriah suasana di sore itu. Para santri yang tidak lebih dari 20-an (seingatku) berkumpul di lapangan yang dibelah net seadanya. Ya, di waktu luang mereka memanfaatkan kesempatan untuk bergembira singkat, melompat-lompat dan tertawa hebat. Kepenatan belajar dan kesibukan bekerja mereka seharian ditutup dengan lontar-tembak bola voli sore itu.

Rata-rata usia mereka saat itu terlampau jauh dariku. Dari 20-an sampai yang mendekati 30, mereka adalah figur-figur santri teladan bagiku waktu itu. Berbeda halnya denganku, mereka berangkat menuju pondok dengan kemauan dan tekad sendiri, berbekal kesadaran dan rasa butuh terhadap ilmu agama. Sebagian besar mereka hidup mandiri, artinya pergi ke pondok dengan tanpa uang saku dari ortu, bahkan sebagian tak dibekali apa-apa meski sekedar sebuah restu.

Kondisi mereka yang demikian, memaksa mereka untuk nyambil kerja; dari beternak unggas, jual madu, sales obat, bertani, roti keliling, dan macam-macam kegiatan yang menyokong kehidupan mereka. Hidup mandiri -yang jadi cita-cita abi- betul-betul tergambar dalam benakku saat itu. Tanpa dukungan orang tua, tanpa uang jajan berkala, tanpa makan mewah dan papan maupun sandang yang wah. Semuanya serba-adanya (bukan serba-ada).

Sebuah cerita mereka yang tak pernah ku lupa...
Lagi-lagi kondisi yang serba adanya memaksa mereka untuk bertahan. Untuk makanan sehari-hari mereka mencari beras yang paling murah. Lalu piket masak akan diputar 2 anak per-hari. Sebagian punya tugas khusus; yaitu pergi ke pasar untuk mencari beras dan mencari sayur yang paling mudah dan murah saat itu. Meski pernah juga mereka menanam sendiri sayur di ladang yang jauh dari penginapan.

Pernah suatu kali, entah karena kekurangan finansial atau apa. Seorang santri berputar-putar di pasar melakukan tugasnya. Bedanya, hari itu ia tidak 'membeli' tapi mencari. Ya, mencari gratisan sayur dari sisa-sisa daun dan bunga kol yang tak dijual. Dengan sabar, ia memilah dan memilih yang masih layak dan enak dari daun-daun yang sudah layu. 

Mungkin memang penasaran atau sekedar berbasa-basi, seseorang bertanya, "Gawe opo to, mas...?" (Buat apa sih, mas?). Karena malu dan tak mungkin menceritakan seadanya, ia pun berkelak dan mengatakan, "Gawe pakan, bu..." ("Buat pakan, bu..."). Kesederhanaan memang kadang pahit...

Tapi, dari kesederhanaan itulah mereka belajar, dididik dan ditempa dengan pukulan dan panasnya bara kehidupan. Setelah taufiq dari Allah, secara tidak sadar, mungkin kesederhanaan itulah yang membuat mereka sekarang bertahan di atas jalan yang lurus, meski penuh dengan lubang ujian dan duri-duri tajam serta halang-rintang. Bertahan dengan yakin dan sabar, berbekal dengan ilmu, akhlak yang luhur, dan amal yang tekun. Rego nggowo rupo, harga yang dibayar akan sesuai dengan kualitas barang yang dibeli.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di sudut lain dari lapangan voly itu, seorang anak 14-15 tahunan sedang jongkok menopang dagu dengan lututnya. Seorang anak lulusan SD yang baru beberapa hari diantarkan ayahnya. Entahlah, kesedihan, kesepian, atau rasa ingin pulang yang membuatnya menyendiri dari yang lain. Memilih duduk terpaku di depan kolam ikan yang tak lagi jernih. Setengah terlamun dan mengalir dalam ilusi, termenung menantikan mentari kembali bersembunyi...

Komentar